Jalan-Jalan Di Rumah
Kenapa ya, kita tidak membedakan kata HOME dan HOUSE? Dalam bahasa Indonesia kita cuma punya satu: RUMAH.
Katanya orang-orang tua sih, "bahasa menunjukan bangsa". Jadi saya pikir, Apa orang Indonesia tidak punya kebutuhan untuk memisahkan kedua hal tadi ya? Kalau mau ditilik-tilik secara bahasa (ceuk saya nu bodo ieu mah) HOUSE berarti bangunan fisik sedangkan HOME adalah perasaan pulang. Kalau kedua kata tadi disatukan dalam RUMAH, berarti saya terpaksa (atau dipaksa) menganggap RUMAH sebagai tempat pulang; tempat perasaan saya disimpan baik-baik. Dan kalau saya gagal punya perasaan itu, I'm in a big trouble.
Mungkin itu alasan orang seperti saya bahagia ketika jalan-jalan. Bukan jalan-jalan a la Discovery Travel and Living lho... Tapi semua jenis jalan-jalan sekampungan apapun. Saya ingat bahagianya saya ketika jalan-jalan, naik ojeg sepeda di Stasiun Kota, bersama si Maemunah. Kami ketawa kegirangan sepanjang jalan, sampai celana Maemunah robek dilempar orang lewat. Yah, ketika saya tidak berhenti jalan, maka ada perasaan rumah yang tidak pernah hilang. Seperti kutipan yang saya temukan di kertas bekas yang kebetulan ada di kamar saya yang berantakan, "The Journey is my home," kata Muriel Rukeyser (entah siapa perempuan bijaksana ini). Semakin jauh saya berjalan, semakin dekat saya dengan perasaan pulang.
Lalu saya mencoba berpikir sok tahu lagi. Mungkin inilah yang membuat beberapa agama di dunia punya konsep perjalanan untuk menyempurnakan ibadahnya. Pilgrim. Berhaji dalam Islam. Dari film Le Grand Voyage (2004) saya dapat informasi kalau dalam haji, naik kapal laut lebih baik daripada naik pesawat terbang; naik mobil lebih baik daripada naik kapal laut; jalan kaki lebih baik daripada naik mobil. Kenapa yang lebih susah dianggap lebih baik?
Mungkin karena perasaan pulang memang tidak mudah ditemukan.
(Man, sayang sekali orang Indonesia hanya punya satu RUMAH)
I travel the world and the seven seas.
Everybody's looking for something.
- sweet dreams (are made of this), eurythmics -
Katanya orang-orang tua sih, "bahasa menunjukan bangsa". Jadi saya pikir, Apa orang Indonesia tidak punya kebutuhan untuk memisahkan kedua hal tadi ya? Kalau mau ditilik-tilik secara bahasa (ceuk saya nu bodo ieu mah) HOUSE berarti bangunan fisik sedangkan HOME adalah perasaan pulang. Kalau kedua kata tadi disatukan dalam RUMAH, berarti saya terpaksa (atau dipaksa) menganggap RUMAH sebagai tempat pulang; tempat perasaan saya disimpan baik-baik. Dan kalau saya gagal punya perasaan itu, I'm in a big trouble.
Mungkin itu alasan orang seperti saya bahagia ketika jalan-jalan. Bukan jalan-jalan a la Discovery Travel and Living lho... Tapi semua jenis jalan-jalan sekampungan apapun. Saya ingat bahagianya saya ketika jalan-jalan, naik ojeg sepeda di Stasiun Kota, bersama si Maemunah. Kami ketawa kegirangan sepanjang jalan, sampai celana Maemunah robek dilempar orang lewat. Yah, ketika saya tidak berhenti jalan, maka ada perasaan rumah yang tidak pernah hilang. Seperti kutipan yang saya temukan di kertas bekas yang kebetulan ada di kamar saya yang berantakan, "The Journey is my home," kata Muriel Rukeyser (entah siapa perempuan bijaksana ini). Semakin jauh saya berjalan, semakin dekat saya dengan perasaan pulang.
Lalu saya mencoba berpikir sok tahu lagi. Mungkin inilah yang membuat beberapa agama di dunia punya konsep perjalanan untuk menyempurnakan ibadahnya. Pilgrim. Berhaji dalam Islam. Dari film Le Grand Voyage (2004) saya dapat informasi kalau dalam haji, naik kapal laut lebih baik daripada naik pesawat terbang; naik mobil lebih baik daripada naik kapal laut; jalan kaki lebih baik daripada naik mobil. Kenapa yang lebih susah dianggap lebih baik?
Mungkin karena perasaan pulang memang tidak mudah ditemukan.
(Man, sayang sekali orang Indonesia hanya punya satu RUMAH)
I travel the world and the seven seas.
Everybody's looking for something.
- sweet dreams (are made of this), eurythmics -
Comments