Maju Kena, Mundur Apalagi

Akhir-akhir ini hidup saya terasa membosankan. Rasanya gak ada kerjaan. Makan gak enak. Kecengan gak punya. Untuk buang-buang waktu, saya coba dengarkan musik. Mulai musik dangdut, disko, sampe disko dangdut saya dengarkan. Tapi sialnya suasana bukannya jadi enak, eh malahan makin butek aja.

Semua gara-gara saya terlalu serius ketika mendengarkan lagu-lagu tadi. Misalnya begini, ketika mendengarkan She's Leaving Home-nya The Beatles, saya langsung buru-buru kabur dari rumah. Ingin seperti perempuan dalam lagu itu. Biar tambah seru saya pindah kota. Berhenti kerja. Cari petualangan baru.

Tapi setelah kabur, saya dengarkan Intastella yang bilang kalo "The past is always better". Sial! Saya jadi terus mengingat apa sudah lewat; semua yang terjadi di belakang. Kok memang tampak lebih indah ya? Meskipun kadang-kadang membosankan, setidaknya dulu saya masih bisa tidur nyenyak. Di petualangan baru ini, boro-boro.

Saya pun jadi terombang-ambing antara bertahan pada petualangan atau kembali ke keadaan semula. Bodoh sekali! Kenapa saya bisa lupa akan pesan Pak Rainer Maria Rilke dalam puisinya. Pak Rilke bilang begini:

(Saya tulis semua ya... Saya suka sich)

Take me by the hand;
it's so easy for you, Angel,
for you are the road
even while being immobile.


You see, I'm scared no one
here will look for me again;
I couldn't make use of
whatever was given,

so they abandoned me.
At first the solitude
charmed me like a prelude,
but so much music wounded me.

- Music, Rainer Maria Rilke -
(Translated by A. Poulin)

Bener juga doski. So much music wounded me. Nyatanya mendengarkan musik memang bikin saya terluka, bukan cuma mental, tapi juga fisik karena gendang telinga saya sudah tidak berfungsi sebelah. Saya putuskan untuk berhenti mendengarkan musik! Saya yakin hidup saya akan lebih jelas setelah itu.

Sialnya... Itu tidak terjadi. Hidup saya tetap tidak jelas dan kurang kerjaan. Bengong sana. Bengong sini.

Hingga suatu hari pencerahan itu datang. 3 bungkus DVD Heroes tampak teronggok tidak berdaya di bawah rak TV. Tidak lama kemudian, saya sudah nongkrong di depan TV, dan mulai menghabiskan waktu menontonnya. Hari-hari tanpa masa depanku ditemani oleh serial yang sedang laris manis. Betapa romantisnya.

Ajaibnya, episode 18 yang berjudul "Parasites" memberikan jawaban dari semua pertanyaan saya saat ini. Yaitu pada saat Linderman memberi wejangannya di dapur hotel. Dia bilang:

I think there comes a time when a man has to ask him self
weather he wants a life of happiness or a life of meaning?

Two very different paths

To be truly happy,
a man must live absolutely in the present.
No thought of what's gone before,
and no thought of what lies ahead.


But a life of meaning,
a man is condemned to wallow in the past
and obsess about the future.


Saat itu Linderman seperti memaksa saya untuk memilih... a life of happiness atau a life of meaning? Tentu saja saya memilih kehidupan sesaat.

Saya pilih kebahagiaan.


I won't think about tomorrow
Tomorrow never comes
I won't think about the mornings
The mornings spent alone
I only want to be
Taken care of and still be free
- tomorrow never comes, club 8 -

Comments

my world said…
Sama, gw juga memilih mendingan hidup buat bahagia. Ga usah takut ama rusaknya masa depan karena itu juga belum terjadi, dan gak usah pusing gara-gara kemaren gagal. Btw, kalo gak punya cita-cita nanti camer suka ga yah? hahaha.

Popular posts from this blog

Di Ranjang Kita Mati

Tragedi Putar

Demi Mimpi