Berani Karena Benar, Takut Karena Ayam
Dalam minggu yang sama, saya dihadapkan dengan dua pembicaraan yang menakutkan saya.
Pertama tentang kemungkinan meninggalkan dua kota yang paling nyaman bagi saya saat ini. Pilih kota lain selain Bandung dan Jakarta, buat petualangan baru di sana. Saya takut dan saya yakin kelinci sama takutnya. Tapi apa dua orang takut bisa berubah jadi berani?
Tepat keesokan harinya saya langsung dijedotin dengan ketakutan kedua. Yang ini ceritanya panjang dan dimulai dari beberapa tahun yang lalu.
Begini... Sudah lama saya bete sama pembangunan masjid yang menurut saya sering berlebihan. Kadang-kadang saya bisa melihat bangunan itu berdiri gagah padahal di sekitarnya berdiri rumah-rumah yang kuyu dan lesu. Saya pengen banget masjid itu jadi tempat yang fungsional, terbuka untuk semua. Tempat saling belajar. Tempat saling berbagi. Seperti fungsinya di jaman Rasul atau kejayaan masa lalu yang sayup-sayup sering saya dengar. Bukan menghabiskan uangnya untuk pembangunan. Logikanya, Indonesia itu mayoritas muslim... Jadi banyak perubahan seharusnya bisa dimulai dari masjid. Dulu saya pikir, kayaknya saya harus bikin film soal ini.
Tapi saya tidak berani...
Lalu hampir dua tahun yang lalu masjid di dekat rumah saya direnovasi. Bangunan lamanya diratakan dengan tanah, lalu dibangunlah masjid yang rencana biayanya 2 miliar. Sejauh ini sudah kekumpul 1 miliar dengan sumbangan berkeringat-keringat dari semua warga. Kalau jalan pikiran saya: bisa aja langsung ganti rancangan dan bikin masjid dengan biaya 1 miliar. Toh lahannya juga kecil banget. Tapi ternyata, pengurus2 itu keukeuh pengen bangun masjid 2 miliar yang akhirnya membuat pembangunan masjid berhenti sampai setahun. Jadi sudah lebih dari setahun itu bangunan bentuknya ga karuan. Beton-beton tidak selesai, besinya keluar-keluar. Miris deh. Pembangunan tidak selesai itu sukses membuat saya tidak tarawih di masjid itu tahun lalu. Dan saya jadi ingat tentang film yang dulu kepengin saya buat itu. Apa saya bikin aja ya?
Ternyata saya takut...
Tiba-tiba kemarin saya ngobrol ngalor-ngidul dengan teman. Ternyata obrolan belok ke urusan masjid ini. Dia juga galau soal sumbangan masjid. Dia ingin rutin menyalurkan sumbangan untuk kegiatan sosial apapun. Dalam pikiran dia, tempat yang paling tepat adalah masjid. Tapi begitu keliling beberapa masjid untuk melihat laporan keuangannya, bisa dibilang hampir tidak ada yang dialokasikan untuk kegiatan sosial. Padahal kasnya bisa sampai 50 juta (ini bersih karena semua biaya operasional sudah dibayarkan). Kalau saja masjid tahu siapa anak yang tidak bisa sekolah, atau warga yang sakit dan tidak bisa berobat, kayaknya banyak yang bisa diperbaiki dari semua keruwetan ini.
Teman saya itu mengajak saya untuk nekat bikin film seperti yang dulu ingin saya buat. Dia kasih ide-ide yang lebih jelas, dan kemungkinan bikin klip-klip yang lebih pendek. Tapi saya malah bingung. Ternyata saya tidak berani membuat film itu karena pertanggungjawabannya. Saya tidak tahu caranya mulai masuk masjid dan berbuat sesuatu. Jadi kesannya cuma protes sana-sini, tapi nggak berani menerapkan ke diri sendiri juga. Saya pikir teman saya itu pun gak berani-berani amat.
Namun seperti juga ide soal pergi dari Jakarta-Bandung itu, apakah dua orang takut bisa berubah jadi berani?
I don’t know what’s right and what’s real anymore
I don’t know how I’m meant to feel anymore
When do you think it will all become clear?
‘Cause I’m being taken over by the fear
-the fear, lily allen-
Pertama tentang kemungkinan meninggalkan dua kota yang paling nyaman bagi saya saat ini. Pilih kota lain selain Bandung dan Jakarta, buat petualangan baru di sana. Saya takut dan saya yakin kelinci sama takutnya. Tapi apa dua orang takut bisa berubah jadi berani?
Tepat keesokan harinya saya langsung dijedotin dengan ketakutan kedua. Yang ini ceritanya panjang dan dimulai dari beberapa tahun yang lalu.
Begini... Sudah lama saya bete sama pembangunan masjid yang menurut saya sering berlebihan. Kadang-kadang saya bisa melihat bangunan itu berdiri gagah padahal di sekitarnya berdiri rumah-rumah yang kuyu dan lesu. Saya pengen banget masjid itu jadi tempat yang fungsional, terbuka untuk semua. Tempat saling belajar. Tempat saling berbagi. Seperti fungsinya di jaman Rasul atau kejayaan masa lalu yang sayup-sayup sering saya dengar. Bukan menghabiskan uangnya untuk pembangunan. Logikanya, Indonesia itu mayoritas muslim... Jadi banyak perubahan seharusnya bisa dimulai dari masjid. Dulu saya pikir, kayaknya saya harus bikin film soal ini.
Tapi saya tidak berani...
Lalu hampir dua tahun yang lalu masjid di dekat rumah saya direnovasi. Bangunan lamanya diratakan dengan tanah, lalu dibangunlah masjid yang rencana biayanya 2 miliar. Sejauh ini sudah kekumpul 1 miliar dengan sumbangan berkeringat-keringat dari semua warga. Kalau jalan pikiran saya: bisa aja langsung ganti rancangan dan bikin masjid dengan biaya 1 miliar. Toh lahannya juga kecil banget. Tapi ternyata, pengurus2 itu keukeuh pengen bangun masjid 2 miliar yang akhirnya membuat pembangunan masjid berhenti sampai setahun. Jadi sudah lebih dari setahun itu bangunan bentuknya ga karuan. Beton-beton tidak selesai, besinya keluar-keluar. Miris deh. Pembangunan tidak selesai itu sukses membuat saya tidak tarawih di masjid itu tahun lalu. Dan saya jadi ingat tentang film yang dulu kepengin saya buat itu. Apa saya bikin aja ya?
Ternyata saya takut...
Tiba-tiba kemarin saya ngobrol ngalor-ngidul dengan teman. Ternyata obrolan belok ke urusan masjid ini. Dia juga galau soal sumbangan masjid. Dia ingin rutin menyalurkan sumbangan untuk kegiatan sosial apapun. Dalam pikiran dia, tempat yang paling tepat adalah masjid. Tapi begitu keliling beberapa masjid untuk melihat laporan keuangannya, bisa dibilang hampir tidak ada yang dialokasikan untuk kegiatan sosial. Padahal kasnya bisa sampai 50 juta (ini bersih karena semua biaya operasional sudah dibayarkan). Kalau saja masjid tahu siapa anak yang tidak bisa sekolah, atau warga yang sakit dan tidak bisa berobat, kayaknya banyak yang bisa diperbaiki dari semua keruwetan ini.
Teman saya itu mengajak saya untuk nekat bikin film seperti yang dulu ingin saya buat. Dia kasih ide-ide yang lebih jelas, dan kemungkinan bikin klip-klip yang lebih pendek. Tapi saya malah bingung. Ternyata saya tidak berani membuat film itu karena pertanggungjawabannya. Saya tidak tahu caranya mulai masuk masjid dan berbuat sesuatu. Jadi kesannya cuma protes sana-sini, tapi nggak berani menerapkan ke diri sendiri juga. Saya pikir teman saya itu pun gak berani-berani amat.
Namun seperti juga ide soal pergi dari Jakarta-Bandung itu, apakah dua orang takut bisa berubah jadi berani?
I don’t know what’s right and what’s real anymore
I don’t know how I’m meant to feel anymore
When do you think it will all become clear?
‘Cause I’m being taken over by the fear
-the fear, lily allen-
Comments
gue punya cerita soal bikin mesjid di belanda (haha teu nyambung)
ayo ngobrol di bandung! atau di jakarta. atau di kota manapun kalian akan pergi
eh bikin deh filmnya, nanti gua ikut bantuin kecil2an.. :D
-ikansapi
masih takut sampe sekarang...
pingin pindah ke kota yang ga rame kyk jakarta, sedingin bandung tapi lebih rapi, dan ada mall