Cmungudh Eaaaa...
Beberapa hari yang lalu seorang teman lama menelepon. Awalnya cuma obral-obrol biasa, lama-lama jadi curhat. Katanya dia terancam didepak dari pekerjaannya karena dianggap kurang memberikan kontribusi. Dia lantas nangis-nangis sebesar bombay. Katanya, setiap hari kerja sampai malam, kadang hari libur dilibas juga, ternyata dia cuma dinilai sebatas statistik laporan penjualan. Selama ini dia terlalu ramah, lembek kalau kata perusahaannya.
Teman saya ini bekerja jadi baut di perusahaan raksasa. Satu dari ratusan domba di padang rumput yang luas. Kalau dia tidak melompat, dia tidak akan terlihat. Perusahaan tempatnya bekerja memberikan waktu 3 bulan untuk melompat, setelah itu jreng-jreng...
Saya yang tidak tahu suka duka orang kantoran lalu sok memberi saran, "Ya sudah kerja saja lebih keras 3 bulan ke depan."
Dia tambah sesegukan. Saya tambah bingung.
Dia bilang bukan tidak bisa, tapi tidak mau. Kalau dia handal di pekerjaannya, dia takut berubah jadi orang yang bengis. Pandai menjual banyak barang dengan harga tinggi berarti mendesak terus, menekan sampai menang. Perusahaan dapat semua, klien dapat sedikit. Ya pokoknya bengis deh. Namun di sisi lain, dia perlu pekerjaan untuk hidup. Ibukota terlalu kejam untuk hidup tanpa penghasilan. Dia tanya, "Jadi harus gimana dong?"
Hmmm... Akhirnya saya berusaha berpikir, saran apa yang bisa saya berikan?
Tiba-tiba saya ingat dulu sekali pernah dapat proyek di sebuah kantor kecil. Duitnya lumayan, proyeknya tampak bermanfaat bagi orang banyak, dan pekerjaannya bisa jadi langgeng karena proyeknya bertahap. Kesannya sempurna banget. Beberapa tahun ke depan saya akan aman keuangan. Untuk awalan saya dipekerjakan pada proyek tahap pertama.
Begitu masuk setengah dari pekerjaan, saya menemukan bahwa proyek yang sepertinya mulia ini sepertinya cuma mesin pengumpul uang. Konten tidak penting bagi pemiliknya. Bicaranya jauh lebih besar daripada kenyataan. Saya bahkan meragukan kalau dia adalah orang yang benar-benar peduli. Dan seperti yang selalu saya percaya... apapun yang dikerjakan tanpa hati, rasanya pasti tengik.
Jadilah saya terjebak dengan pikiran saya sendiri. Setengah diri saya ingin saya meneruskan pekerjaan sampai tahap-tahap selanjutnya, supaya saya tidak perlu bingung lagi dengan urusan duit. Namun setengah diri saya bilang ini salah.
Di sela-sela kebingungan terjebak dengan pertanggung jawaban moral, saya berkenalan dengan anak-anak dari pemilik kantor itu. Saya bersyukur banget anak-anaknya beneran baik banget. Salah satu dari mereka kemudian cerita tentang jatuh bangun hubungannya dengan ortunya (si pemilik kantor itu). Duh... sedih banget dengernya.
Saya dengar cerita bagaimana niatan pemilik kantor untuk meraup untung besar dengan kadalin kanan kiri malah membawa keluarga mereka ikut jatuh, sampai berulang kali. Banyak kemarahan dan kesedihan. Di situ saya sadar kalau kita punya pilihan dalam hidup. Dan pilihan itu akan menentukan kita jadi manusia macam apa, bagi diri sendiri dan sekitar kita. Kita sudah dikasih modal hati untuk menimbang. Tepat setelah itu saya dapat semangat tinggi untuk bekerja lagi, sekedar untuk menyelesaikan tugas tahap pertama yang sudah saya sanggupi, lalu pergi sambil mengucapkan selamat tinggal bagi kestabilan finansial beberapa tahun ke depan.
Pengalaman itu bikin saya punya jawaban untuk pertanyaan teman lama saya yang galau dengan kantor multi nasionalnya. Saya bilang padanya, 3 bulan ke depan dia bisa bekerja lebih keras dalam arti menyelesaikan tugas tepat waktu, bekerja lebih efisien, dkk. Namun apapun yang terjadi jangan sampai korbankan hati sendiri. Tidak perlu jadi bengis kalau dia memang tidak mau. Kalau setelah 3 bulan perusahaan menganggap itu tidak cukup, saya yakinkan dia untuk percaya bahwa di luar sana masih buaanyak hal yang lain. Kadang bentuknya memang bukan materi, tapi banyak hal lebih indah dari materi. Eh tapi siapa tahu ada pekerjaan lain yang lebih cocok dengan gaji lebih oke. Ya kan? Toh saya tahu betul teman saya ini pandai dan pekerja keras.
Jadi buat teman lama sayah... tetap cmungudh eaaa. What ever will be, will be...
Emancipate yourselves from mental slavery
None but ourselves can free our minds
Have no fear for atomic energy
Cause none of them can stop the time
-redemption song, bob marley-
Teman saya ini bekerja jadi baut di perusahaan raksasa. Satu dari ratusan domba di padang rumput yang luas. Kalau dia tidak melompat, dia tidak akan terlihat. Perusahaan tempatnya bekerja memberikan waktu 3 bulan untuk melompat, setelah itu jreng-jreng...
Saya yang tidak tahu suka duka orang kantoran lalu sok memberi saran, "Ya sudah kerja saja lebih keras 3 bulan ke depan."
Dia tambah sesegukan. Saya tambah bingung.
Dia bilang bukan tidak bisa, tapi tidak mau. Kalau dia handal di pekerjaannya, dia takut berubah jadi orang yang bengis. Pandai menjual banyak barang dengan harga tinggi berarti mendesak terus, menekan sampai menang. Perusahaan dapat semua, klien dapat sedikit. Ya pokoknya bengis deh. Namun di sisi lain, dia perlu pekerjaan untuk hidup. Ibukota terlalu kejam untuk hidup tanpa penghasilan. Dia tanya, "Jadi harus gimana dong?"
Hmmm... Akhirnya saya berusaha berpikir, saran apa yang bisa saya berikan?
Tiba-tiba saya ingat dulu sekali pernah dapat proyek di sebuah kantor kecil. Duitnya lumayan, proyeknya tampak bermanfaat bagi orang banyak, dan pekerjaannya bisa jadi langgeng karena proyeknya bertahap. Kesannya sempurna banget. Beberapa tahun ke depan saya akan aman keuangan. Untuk awalan saya dipekerjakan pada proyek tahap pertama.
Begitu masuk setengah dari pekerjaan, saya menemukan bahwa proyek yang sepertinya mulia ini sepertinya cuma mesin pengumpul uang. Konten tidak penting bagi pemiliknya. Bicaranya jauh lebih besar daripada kenyataan. Saya bahkan meragukan kalau dia adalah orang yang benar-benar peduli. Dan seperti yang selalu saya percaya... apapun yang dikerjakan tanpa hati, rasanya pasti tengik.
Jadilah saya terjebak dengan pikiran saya sendiri. Setengah diri saya ingin saya meneruskan pekerjaan sampai tahap-tahap selanjutnya, supaya saya tidak perlu bingung lagi dengan urusan duit. Namun setengah diri saya bilang ini salah.
Di sela-sela kebingungan terjebak dengan pertanggung jawaban moral, saya berkenalan dengan anak-anak dari pemilik kantor itu. Saya bersyukur banget anak-anaknya beneran baik banget. Salah satu dari mereka kemudian cerita tentang jatuh bangun hubungannya dengan ortunya (si pemilik kantor itu). Duh... sedih banget dengernya.
Saya dengar cerita bagaimana niatan pemilik kantor untuk meraup untung besar dengan kadalin kanan kiri malah membawa keluarga mereka ikut jatuh, sampai berulang kali. Banyak kemarahan dan kesedihan. Di situ saya sadar kalau kita punya pilihan dalam hidup. Dan pilihan itu akan menentukan kita jadi manusia macam apa, bagi diri sendiri dan sekitar kita. Kita sudah dikasih modal hati untuk menimbang. Tepat setelah itu saya dapat semangat tinggi untuk bekerja lagi, sekedar untuk menyelesaikan tugas tahap pertama yang sudah saya sanggupi, lalu pergi sambil mengucapkan selamat tinggal bagi kestabilan finansial beberapa tahun ke depan.
Pengalaman itu bikin saya punya jawaban untuk pertanyaan teman lama saya yang galau dengan kantor multi nasionalnya. Saya bilang padanya, 3 bulan ke depan dia bisa bekerja lebih keras dalam arti menyelesaikan tugas tepat waktu, bekerja lebih efisien, dkk. Namun apapun yang terjadi jangan sampai korbankan hati sendiri. Tidak perlu jadi bengis kalau dia memang tidak mau. Kalau setelah 3 bulan perusahaan menganggap itu tidak cukup, saya yakinkan dia untuk percaya bahwa di luar sana masih buaanyak hal yang lain. Kadang bentuknya memang bukan materi, tapi banyak hal lebih indah dari materi. Eh tapi siapa tahu ada pekerjaan lain yang lebih cocok dengan gaji lebih oke. Ya kan? Toh saya tahu betul teman saya ini pandai dan pekerja keras.
Jadi buat teman lama sayah... tetap cmungudh eaaa. What ever will be, will be...
Emancipate yourselves from mental slavery
None but ourselves can free our minds
Have no fear for atomic energy
Cause none of them can stop the time
-redemption song, bob marley-
Comments
ada istilah kapitalis yang saya suka money is not everything (but the one thing). situ+kelinci kapan atuh maen ke bali?
masih perlu semedi nih.
eh lu ke bandung ke rumah gw yuk.
hehe... kelinci udah punya kandang di bandung. ada kucingnya lagi